Wahai saudaraku, marilah
kita merenung sejenak, bagaimana seharusnya kita hidup sebagai ‘muslim’. Memang
benar, Allah SWT benyak sekali menyandingkan kata Aamanuu dan ‘Amilush
Shoolihaat dalam kitab yang agung, Al Qur’an Al Kariim, yaitu seorang
muslim harus beriman dan beramal sholih. Iya, itu benar. Tidaklah salah, namun
kurang sempurna. Nah, kurang sempurnanya dimana? Kok beriman dan beramal sholih
saja kurang sempurna?
Ingatlah saudaraku, kita
hidup tidak sendiri di dunia ini. Bagaimana bisa disebut sempurna jika kita
beriman dan beramal sholih untuk diri kita sendiri? Untuk kebaikan kita
sendiri? Tentu tidak. Jika kita benar-benar muslim, sudah semestinya kita
resah, gelisah, tak tenang saat melihat saudara, orang tua, teman, keluarga,
kerabat, dan masyarakat belum sepenuhnya beriman dan beramal sholih. Oleh
karena itu, beriman dan beramal sholih saja belum cukup, perlu disempurnakan
dengan da’wah dan jihad.
Bak sebuah bangunan, iman
menjadi pondasi awal. Pondasi-lah yang menentukan bangunan itu tegak atau
miring, kokoh atau rapuh, kuat atau lemah, bertahan lama atau singkat, permanen
atau temporer? Tak akan mungkin ada bangunan tanpa pondasi. Tak akan pernah
ada, kecuali Allah SWT Yang Menghendaki. Lalu, bagaimana dengan ‘amal sholih?
‘Amal sholih bak tiang
penyangga yang semakin mengukuhkan bangunan. Ia menjadi representasi pondasi
yang telah tertanam. Ia yang dapat dinilai manusia dengan indrawinya. Jika
tiang penyangganya kokoh, berarti mencerminkan pondasinya kokoh. Bangunan
itupun dapat dilengkapi dengan kursi, sofa, lukisan, dan mozaik-mozaik yang
penuh keindahan. Penghuninya pun merasa aman dan tenteram dengan kesholihan.
Tidak khawatir bangunannya roboh. Trus, bagaimana jika tiangnya bengkok? Rapuh?
Mudah terkikis? Tak ada jawaban lain, berarti pondasinya tak baik. Penghuninya
pun akan selalu khawatir bangunannya roboh, roboh dalam jurang kemaksiatan.
Bangunan itu hanya masih
pondasi dan tiang penyangga. Kurang satu hal terpenting, yaitu atap. Begitulah
da’wah dan jihad melengkapi bagian bangunan itu. Ia menjadi puncak terbaik ‘amal,
sabaik-baik perbuatan. Ia menjadi pelindung bagi para penghuninya dari terpaan
badai, sengatan panas mentari, deraan hujan, ganasnya musim, perubahan cuaca
dan segala ketidakharmonisan amal. Ia menjadi bukti kalau identitas
kemuslimannya telah nampak. Nampak beriringan antara ‘amal sholih fardi atau
jama’i, amar ma’ruf atau nahi munkar, keadilan atau kedzaliman, kesengsaraan
atau kebahagiaan, cercaan atau pujian. Ia benar-benar menuntut pelakunya untuk
mengorbankan semuanya, waktu, tenaga, kekayaan, kesehatan, pikiran, dan jiwanya
untuk memikirkan orang lain. Yang ada dalam benaknya, bagaimana orang lain bisa
baik melebihiku? Bagaimana agar orang lain terjerumus ke dalam kemaksiatan?
Itulah yang menjadi asbab mengapa atap begitu penting. Penting untuk melindungi
dari keburukan, mengajak pada kebaikan, melawan kemungkaran, dan memperluas
jaringan agar pundi-pundi ‘amal dirasakan oleh banyak orang. Sampai-sampai,
Allah SWT membelinya dengan Surga yaitu orang-orang yang menyempurnakan
bangunanannya dengan atap. Allah berikan segala kenikmatan akhirat kepada
mereka, mereka yang bersungguh-sungguh untuk terus menguatkan, memperindah dan
menjaga atap rumahnya.
Bangunan Surat Al ‘Asr –Iman,
‘Amal sholih, dan Da’wah atau Jihad’
‘ISYHADUU, LI ANNANII
MUSLIM’