Minggu, 18 Maret 2018

Bangunan Muslim



Wahai saudaraku, marilah kita merenung sejenak, bagaimana seharusnya kita hidup sebagai ‘muslim’. Memang benar, Allah SWT benyak sekali menyandingkan kata Aamanuu dan ‘Amilush Shoolihaat dalam kitab yang agung, Al Qur’an Al Kariim, yaitu seorang muslim harus beriman dan beramal sholih. Iya, itu benar. Tidaklah salah, namun kurang sempurna. Nah, kurang sempurnanya dimana? Kok beriman dan beramal sholih saja kurang sempurna?

Ingatlah saudaraku, kita hidup tidak sendiri di dunia ini. Bagaimana bisa disebut sempurna jika kita beriman dan beramal sholih untuk diri kita sendiri? Untuk kebaikan kita sendiri? Tentu tidak. Jika kita benar-benar muslim, sudah semestinya kita resah, gelisah, tak tenang saat melihat saudara, orang tua, teman, keluarga, kerabat, dan masyarakat belum sepenuhnya beriman dan beramal sholih. Oleh karena itu, beriman dan beramal sholih saja belum cukup, perlu disempurnakan dengan da’wah dan jihad.
Bak sebuah bangunan, iman menjadi pondasi awal. Pondasi-lah yang menentukan bangunan itu tegak atau miring, kokoh atau rapuh, kuat atau lemah, bertahan lama atau singkat, permanen atau temporer? Tak akan mungkin ada bangunan tanpa pondasi. Tak akan pernah ada, kecuali Allah SWT Yang Menghendaki. Lalu, bagaimana dengan ‘amal sholih?  
‘Amal sholih bak tiang penyangga yang semakin mengukuhkan bangunan. Ia menjadi representasi pondasi yang telah tertanam. Ia yang dapat dinilai manusia dengan indrawinya. Jika tiang penyangganya kokoh, berarti mencerminkan pondasinya kokoh. Bangunan itupun dapat dilengkapi dengan kursi, sofa, lukisan, dan mozaik-mozaik yang penuh keindahan. Penghuninya pun merasa aman dan tenteram dengan kesholihan. Tidak khawatir bangunannya roboh. Trus, bagaimana jika tiangnya bengkok? Rapuh? Mudah terkikis? Tak ada jawaban lain, berarti pondasinya tak baik. Penghuninya pun akan selalu khawatir bangunannya roboh, roboh dalam jurang kemaksiatan.

Bangunan itu hanya masih pondasi dan tiang penyangga. Kurang satu hal terpenting, yaitu atap. Begitulah da’wah dan jihad melengkapi bagian bangunan itu. Ia menjadi puncak terbaik ‘amal, sabaik-baik perbuatan. Ia menjadi pelindung bagi para penghuninya dari terpaan badai, sengatan panas mentari, deraan hujan, ganasnya musim, perubahan cuaca dan segala ketidakharmonisan amal. Ia menjadi bukti kalau identitas kemuslimannya telah nampak. Nampak beriringan antara ‘amal sholih fardi atau jama’i, amar ma’ruf atau nahi munkar, keadilan atau kedzaliman, kesengsaraan atau kebahagiaan, cercaan atau pujian. Ia benar-benar menuntut pelakunya untuk mengorbankan semuanya, waktu, tenaga, kekayaan, kesehatan, pikiran, dan jiwanya untuk memikirkan orang lain. Yang ada dalam benaknya, bagaimana orang lain bisa baik melebihiku? Bagaimana agar orang lain terjerumus ke dalam kemaksiatan? Itulah yang menjadi asbab mengapa atap begitu penting. Penting untuk melindungi dari keburukan, mengajak pada kebaikan, melawan kemungkaran, dan memperluas jaringan agar pundi-pundi ‘amal dirasakan oleh banyak orang. Sampai-sampai, Allah SWT membelinya dengan Surga yaitu orang-orang yang menyempurnakan bangunanannya dengan atap. Allah berikan segala kenikmatan akhirat kepada mereka, mereka yang bersungguh-sungguh untuk terus menguatkan, memperindah dan menjaga atap rumahnya.

Bangunan Surat Al ‘Asr –Iman, ‘Amal sholih, dan Da’wah atau Jihad’
‘ISYHADUU, LI ANNANII MUSLIM’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar